Jakarta, 22 Maret 2025 – Dunia jurnalisme Indonesia kembali di kejutkan oleh aksi teror terhadap institusi media. Setelah sebelumnya mendapat kiriman kepala babi pada awal Maret lalu, kini kantor Tempo di Palmerah, Jakarta Barat, kembali mendapat intimidasi dalam bentuk yang tak kalah mengejutkan: kiriman bangkai tikus dalam sebuah paket misterius. Aksi ini mengundang kecaman dari berbagai kalangan dan menimbulkan kekhawatiran terhadap kebebasan pers di Tanah Air.
Kronologi Pengiriman Paket Mencurigakan
Paket berisi bangkai tikus tersebut tiba pada Kamis malam, 21 Maret 2025, sekitar pukul 21.00 WIB. Menurut keterangan dari petugas keamanan internal Tempo, paket itu di letakkan diam-diam oleh seseorang tak di kenal di depan lobi gedung utama. Dalam paket yang di bungkus kardus cokelat itu, terdapat bangkai beberapa ekor tikus dalam kondisi membusuk.
Pihak keamanan langsung melaporkan kejadian tersebut kepada manajemen dan kepolisian setempat. Tim gegana Polda Metro Jaya kemudian di terjunkan untuk mengamankan dan memeriksa isi paket.
“Ini jelas bentuk intimidasi. Setelah kepala babi, kini bangkai tikus. Kita tidak boleh membiarkan aksi seperti ini merusak semangat kebebasan pers,” ujar Pemimpin Redaksi Tempo, Setri Yasra, dalam konferensi pers.
Reaksi dan Langkah Hukum dari Tempo
Tempo telah melaporkan kejadian ini secara resmi ke pihak kepolisian. Laporan tersebut kini di tangani oleh Unit Reskrim Polres Metro Jakarta Barat yang juga sedang mengusut kasus teror kepala babi sebelumnya.
“Semua teror yang di tujukan kepada media akan kami proses secara hukum. Saat ini kami sedang memeriksa CCTV, saksi di sekitar lokasi, serta memeriksa jejak pengirim paket,” ujar Kombes Pol Syahroni, Kapolres Metro Jakarta Barat.
Pihak Tempo menegaskan bahwa mereka tidak akan mundur dan akan terus menyuarakan kebenaran.
Teror Kepala Babi dan Rangkaian Ancaman Lain
Kasus ini merupakan lanjutan dari teror kepala babi yang dikirim ke kantor Tempo pada 1 Maret 2025 lalu. Dalam insiden tersebut, seseorang tak di kenal meletakkan kepala babi di depan kantor Tempo bersama dengan secarik kertas berisi ancaman.
Banyak yang menduga bahwa teror ini berkaitan dengan sejumlah liputan investigatif yang di terbitkan oleh Tempo dalam beberapa bulan terakhir. Salah satunya adalah laporan mengenai dugaan penyalahgunaan kekuasaan oleh sejumlah pejabat daerah dan bisnis-bisnis besar.
Namun hingga kini, pihak kepolisian belum mengungkap siapa dalang di balik kedua aksi teror ini.
Dukungan dari Insan Pers dan Masyarakat
Peristiwa ini langsung mengundang simpati dari berbagai elemen masyarakat, mulai dari jurnalis, akademisi, tokoh publik, hingga organisasi masyarakat sipil. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Dewan Pers mengecam keras aksi intimidasi tersebut.
“Ini adalah upaya pembungkaman terhadap kebebasan pers. Negara harus hadir dan menjamin perlindungan terhadap media,” ujar Ketua AJI, Sasmito Madrim.
Di media sosial, tagar #SolidaritasUntukTempo dan #LawanIntimidasi sempat menjadi trending topic di Twitter dan Instagram. Ribuan netizen menyuarakan dukungan mereka terhadap Tempo dan kebebasan pers di Indonesia.
Sejumlah Tokoh Publik Ikut Bersuara
Sejumlah tokoh nasional seperti Najwa Shihab, Rocky Gerung, Yenny Wahid, dan Tunggal Pawestri juga memberikan pernyataan melalui media sosial dan kanal resmi mereka.
“Saya berdiri bersama Tempo. Jurnalisme harus tetap menjadi benteng demokrasi, bukan menjadi korban intimidasi,” tulis Najwa Shihab di akun Instagram-nya.
Begitu juga dengan Rocky Gerung yang menilai bahwa aksi tersebut merupakan tanda bahwa kekuasaan mulai merasa terganggu oleh kontrol publik yang di lakukan media.
Ancaman terhadap Kebebasan Pers dan Demokrasi
Serangan terhadap Tempo bukan sekadar ancaman terhadap satu institusi media, tapi merupakan serangan terhadap kebebasan berekspresi dan pilar utama demokrasi. Indonesia yang di kenal sebagai negara demokratis semestinya melindungi media dari ancaman kekerasan, baik verbal maupun fisik.
Lembaga seperti Amnesty International dan Human Rights Watch juga menyerukan agar pemerintah Indonesia menanggapi serius kasus ini. Mereka mendesak aparat penegak hukum agar segera mengusut tuntas dan menangkap pelakunya.
Respons Pemerintah dan Komisi I DPR
Menteri Komunikasi dan Informatika, Budi Arie Setiadi, turut memberikan tanggapan. Ia menegaskan bahwa pemerintah tidak akan membiarkan adanya tindakan yang membungkam pers.
“Saya sudah bicara langsung dengan pihak kepolisian dan minta agar investigasi di lakukan menyeluruh. Kita harus jaga ruang demokrasi, termasuk perlindungan terhadap jurnalis,” ujarnya.
Sementara itu, Komisi I DPR RI yang membidangi media dan komunikasi juga memanggil perwakilan Dewan Pers dan Polri untuk rapat kerja khusus membahas kasus ini.
Perlunya Perlindungan Sistemik untuk Media
Kasus ini membuka kembali diskusi tentang perlunya sistem perlindungan hukum dan teknis yang lebih kuat untuk institusi media di Indonesia. Saat ini, sebagian besar media belum memiliki protokol keamanan yang memadai untuk menghadapi ancaman fisik.
Beberapa usulan yang mulai dibahas di DPR dan organisasi pers meliputi:
- Penguatan Undang-Undang Pers
- Penambahan dana pengamanan dan dukungan hukum
- Protokol keamanan untuk redaksi dan jurnalis lapangan
- Kerja sama lebih intensif antara Dewan Pers dan Polri
Evaluasi dan Harapan ke Depan
Bagi Tempo, kejadian ini bukan yang pertama. Dalam sejarahnya, Tempo kerap menjadi sasaran karena liputan-liputan investigatifnya. Namun, mereka selalu bertahan dan berkomitmen untuk menyuarakan kebenaran.
“Jurnalisme bukan sekadar pekerjaan, ini adalah misi. Teror tidak akan menghentikan kami,” tegas Setri Yasra, yang kembali menegaskan bahwa Tempo akan tetap berdiri di garis depan kebebasan pers.
Refleksi tentang Keberanian Pers dalam Menyuarakan Kebenaran
Peristiwa ini menjadi momentum bagi publik untuk kembali menghargai peran penting jurnalis dan media yang independen. Di tengah derasnya arus informasi dan hoaks, media profesional seperti Tempo memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga kualitas informasi yang disampaikan ke masyarakat.
“Media adalah mata dan telinga rakyat. Tanpa media yang bebas dan independen, masyarakat akan buta terhadap kebenaran yang sesungguhnya,” ujar Prof. Dr. Haris Firdaus, pakar komunikasi dari Universitas Indonesia.
Meningkatnya tekanan terhadap media bukan hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di banyak negara demokratis lain. Namun, bagaimana masyarakat dan negara merespons tekanan tersebut akan menentukan kualitas demokrasi itu sendiri.
Meningkatkan Literasi Media di Tengah Ancaman Teror
Selain pentingnya keamanan fisik dan hukum, banyak pengamat menyarankan agar literasi media di masyarakat juga terus ditingkatkan. Publik harus mampu membedakan antara informasi yang kredibel dan manipulatif, serta mendukung jurnalisme yang bertanggung jawab.
Lembaga-lembaga seperti Kominfo dan Dewan Pers didorong untuk melakukan pelatihan dan edukasi literasi media secara masif, termasuk di sekolah dan perguruan tinggi. Dengan meningkatnya kesadaran masyarakat, upaya pembungkaman terhadap media profesional seperti Tempo bisa lebih mudah dikenali dan dilawan.
Kesimpulan: Saatnya Bersatu Melawan Intimidasi terhadap Media
Insiden bangkai tikus dan kepala babi bukan sekadar cerita kriminal, melainkan simbol ancaman terhadap demokrasi. Ketika media yang kritis dibungkam dengan teror, maka yang terancam bukan hanya jurnalis, tetapi juga hak masyarakat untuk tahu.
Saat ini, seluruh elemen bangsa—pemerintah, DPR, masyarakat sipil, dan netizen—harus bersatu untuk memastikan kebebasan pers tetap hidup dan kuat. Bukan hanya untuk Tempo, tapi untuk seluruh media di Indonesia.